twitter
rss

Melihat perbedaan kompetensi: Put the right man in the right place


Salah satu unsur dalam manajemen SDM adalah pendayagunaan yaitu menempatkan orang sesuai dengan kompetensinya sehingga bisa bekerja dengan optimal. Istilah lain yang sering digunakan adalah the right man in the right place. Dalam hal ini para manajer harus bisa melihat kemampuan atau kompetensi karyawannya sehingga bisa menempatkan dalam posisi yang pas. Karena hal ini akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Apabila karyawan kita tidak punya kompetensi yang sesuai, maka tentu saja hasilkan tidak akan seperti yang kita harapkan. Sebuah hadist mengatakan ” Apabila kita menyerahkan sesuatutidak kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”. 
Konsep pendayagunaan ini sangat mudah diucapkan namun tidak mudah untuk diterapkan. Terbukti masih banyak karyawan menyatakan tidak pas dengan tugas yang diberikan, atau atasan yang menilai stafnya tidak bisa bekerja dengan baik. Padahal mungkin saja memang kompetensi dan kemampuannya tidak pas dibidang yang di berikan. Dalam hal ini diperlukan upaya untuk menilai dan menggali kompetensi seseoranghingga memahami nilai-nilai(values) yang ada pada dirinya, kemudian disesuaikan dengan bidang pekerjaan yang tepat buatnya. Keseluruhan tahap ini memerlukan waktu dan kesabaran dan pemahaman pengetahuan yang baik untuk dapat menerapkannya.
Yang masih sering kita temui adalah atasan menganggap staf atau bawahannya tidak bisa melakukan tugas dengan baik, sering melakukan kesalahan, tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan dan menganggap karyawan ini prestasinya jelek. Padahal dari konsep pendayagunaan tadi, kita perlu menilai, mengevaluasi apakah karakter dia, kompetensi dan kemampuannya sesuai atau cocokdengan pekerjaannya. Kadang atasan membandingkan prestasi karyawan dengan yang lainnya tanpa menilai lebih dalam lagi. Sebagai atasan/pimpinan kita juga harus melihat karyawan kita secara pribadi. dari tingkat pendidikan mungkin sama, tetapi bisa jadi ada perbedaan antar yang satu dengan yang lainnya. Menjadi tanggung jawab pimpinan untuk mendayagunakan karyawan tersebut bisa lebih berdaya guna lagi sehingga bisa menghasilkan kinerja yang diinginkan.
Berkaitan dengan hal tersebut sangat diperlukan bagaimana pandangan kita terhadap perbedaan. Ada sebuah kisahyang menarik untuk disimak tentang perbedaan ini. Alkisah ada seorang ayah mempunyai 3 orang anak yang mempunyai karakter yang berbeda. Anak yang pertama mempunyai sifat yang tenang namun kurang peduli. Anak kedua sangat menyenangkan, suka membantu dan penyayang. Anak ketiga anak yang paling menyusahkan, sifatnya tidak sabaran, pemarah dan suka membuat ulah. Dalam kehidupan sehari-hari ulah ketiga anak-anaknya kadang-kadang membuat kesal dan kecewa sang ayah.
Pada suatu hari, anak ketiganya membuat ulah di sekolah sehingga sang ayah dipanggil, Betapa malu dan marah sang ayah. Kekesalannya memuncak dan membuatnya hampir lupa diri. Namun sang ayah berusaha mengendalikan dirinya. Dalam waktu sholatnya dia bawa permasalahannya ini kepada Allah SWT, dan bertanya kenapa dia diberikan tiga anak yang berbeda sifatnya dan kenapa tidak seperti anak yang kedua seperti yang diinginkan sang ayah. Sang ayah pasrah dan memohon bimbingannya agar bisa mendidik anak-anaknya.
Pada suatu hari, sang ayah mendapatkan undangan makan malam di sebuah restoran dari teman kantornya. Saat menikmati berbagai hidangan yang disuguhkan, sang ayah menggunakan sendok, pisau dan garpu. Ketiga benda tersebut digunakan dengan bergantian. Ketika makan spageti, garpulah yang punya banyak peran. Saat makan steak, pisau dan garpulah yang digunakan. Kadang hanya sendok saja yang di gunakan. Sendok, pidau dan garpu, tiga benda ini tiba-tiba mengusik hatinya. Seolah-olah Allah menunjukkan kepadanya akan makna tiga benda yang punya fungsi yang berbeda, tertapi bisa digunakan dan mempunyai peran yang penting dalam sebuah aktivitas makan. Dalam benaknya sang ayah membandingkan dengan ketiga anaknya. Seketika sang ayah tersentak dan mendapat pencerahan. Lalu ia bersyukur dan berdoa ” Ya Allah, terimakasih Engkau telah memberikan saya anak-anak yang luar biasa dalam kehidupan ini”
Ya, Allah telah memberikan ketiga karakter yang berbeda dalam diri anak-anaknya. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan ibaratnya ketiga benda tersebut yaitu sendok, garpu dan pisau. Anak pertamanya dia ibartkan dengan sendok, yang dapat dipakai tanpa perlu ada garpu. Namun pada saat tertentu garpu dibutuhkan, ia akan menjadi pasangan yang baik dimeja makan. Sedangkan pisau, yang sangat tajam namun apabila digunakan pada saat yang tepat akan sangat dibutuhkan. Akhirnya sang ayah menyadari, betapa Allah telah memberikan ketiga anak yang luar biasa, tinggal bagaimana sang ayah akan merawat dan tahu kapan menggunakannya. Seperti dia mempunyai sendok, garpu dan pisau. Bukankah tanpa garpu akan sangat sulit menikmati spageti dan apabila tanpa pisau bagaimana kita bisa menikmati steak yang panas di sebuah meja makan. Kini Sang ayah hidup penuh syukur karena menyadari alangkah indahnya mempunyai sesuatu yang berbeda ketimbang mempunyai 3 buah garpu. Karena akan sulit digunakan.
Makna cerita tersebut merupakan refleksi tidak langsung bagaimana kita melihat perbedaan pada awalnya hingga kita menemukan bagaimana perbedaan itu menjadi kekuatan dan lalu kita berkata ” Put your right man in the right place”. Kita bisa merefleksikannya dalam kehidupan keluarga kita atau di lingkungan kantor kita dengan adanya perbedaan pada karyawan kita. Akan menjadi sebuah kekuatan apabila kita bisa mencari peluang pendayagunaan dari sebuah perbedaan. Apabila kita bisa menilai dan memahami makna kompetensi (sekumpulan sifat, pengetahuan dan ketrampilan yang kita miliki yang membedakan kita dengan yang lain) secara lebih baik dan menempatkannya pada tempat yang sesuai, maka kita bisa mempergunakannyasebagai kekuatan untuk mendapatkan sinergi tanpa merusak makna dari perbedaan itu.

 PRINSIP "The Right Man on the Right Place" sangat populer di dunia manajemen. Penempatan orang yang tepat pada posisi yang tepat menjadi kunci sukses sebuah organisasi atau perusahaan.

Umat Islam tidaklah asing dengan prinsip semacam itu. Pasalnya, lebih dari 14 abad silam, ajaran Islam sudah mewanti-wanti agar umatnya menyerahkan suatu masalah kepada ahlinya (the right man). Jika tidak, tunggulah kehancurannya. Rasulullah Saw bersabda, "Jika amanah disia-siakan, tunggulah saat kehancuran". Sahabat bertanya: "Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?" Rasul menjawab: "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya" (HR Bukhari). Hadits ini diperkuat dengan sejumlah ayat Alquran dan hadis lain tentang keharusan umat Islam menyerahkan amanah kepada ahlinya.

Dalam Surat An-Nisa: 58 Allah Swt menegaskan, Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Menyerahkan amanah kepada bukan ahlinya juga menjadi salah satu tanda akhir zaman (kiamat).

Abu Hurairah meriwayatkan, dalam satu majelis ketika Rasulullah Saw berbicara dengan orang ramai, datang seorang Arab Badui, lalu bertanya: "Bilakah hari Kiamat?" Rasulullah bersabda: "Apabila dihilangkan amanah maka tunggulah hari kiamat". Orang itu bertanya lagi: "Bagaimanakah menghilangkan amanah itu?" Rasul menegaskan: "Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat". Sangat jelas dan logis, kita diperintahkan untuk memberikan amanah kepada ahlinya. Kita harus menyerahkan amanah kepemimpinan kepada orang yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memimpin.

Kita mesti memberikan tanggung jawab sebagai wakil rakyat kepada mereka yang memang layak mewakili rakyat-mengenal dan berpihak kepada rakyat, jujur, tidak mementingkan diri sendiri, dan lainnya. Sayangnya, kita sering melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya itu. Faktor like and dislike, nepotisme, pertemanan (kroniisme), bujuk-rayu dan suap, sering menjadikan perintah agama itu terabaikan.

Sering terjadi kasus menyingkirkan orang yang ahli (mampu) dan mengangkat orang yang bukan ahli. Sebenarnya, jika faktor-faktor tadi berada di bawah keahlian atau kapabilitas, tidak terlalu menjadi masalah, kalau memang dia ahlinya yang kebetulan teman atau kerabat. Persoalannya, sering kali kita mengangkat orang dengan menomorduakan faktor keahlian itu dan mengedepankan faktor-faktor tadi. Alasan yang biasa muncul, "keahlian bisa dipelajari" atau "dicoba dulu". Fenomena demikian sudah disinyalir Rasulullah. Yazid bin Abu Sufiyan berkata, "Telah berkata kepadaku Abu Bakar waktu ia mengutusku ke Syam: 'Hai Yazid! Sesungguhnya engkau mempunyai kerabat, boleh jadi engkau mengutamakan mereka buat memegang kekuasaannya, dan itulah yang aku khawatirkan atasmu, karena Rasulullah bersabda : 'Barangsiapa menguasai sesuatu dari urusan kaum muslimin, lalu dia memberi kuasa kepada seseorang atas mereka kerana cintanya, maka laknat Allah menimpa atasnya, Allah tidak diterima daripadanya gantian dan tidak pula tebusan, sehingga dia dimasukkan ke dalam neraka Jahannam " (HR. Al-Hakim) Jika kita berbuat demikian, hadits berikut ini juga harus kita camkan.

Dari Abu Dzar, dia berkata: " Saya berkata : 'Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memilih saya?' Rasulullah bersabda: 'Hai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sedangkan itu sebagai amanah pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang dapat menunaikan hak kewajibannya dan memenuhi tanggungjawabnya" (HR Muslim).

Hadits ini memberi peringatan, memberikan amanah kepada orang yang bukan ahlinya akan menimbulkan beban berat, penyesalan dan kehinaan di akhirat, selain masalah yang menjadi tanggung jawabnya akan berantakan.

Amanah secara harfiyah adalah tanggung jawab, kepercayaan, terpercaya, atau beban tugas. Amanah bisa juga berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional), seperti seuatu kedudukan tidak diberikan kecuali kepada orang yang berhak dan mampu menunaikan tugas dan kewajibannya dengan benar. Setiap kita memiliki amanah dan akan dimintai pertanggugjawabannya.

Rasulullah bersabda, "Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu juga akan diminta bertanggungjawab tentang apa yang kamu pemimpin, ketua atau imam adalah pemimpin dan ia akan diminta tanggungjawab tentang apa yang dipimpinnya" (HR Bukhari). Kita diperintahkan untuk tidak sekali-kali menyia-nyiakan amanah itu apalagi menyalahgunakannya.

Dalam Al-Anfaal: 27 Allah menegaskan, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati amanah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah kamu, sedang kamu mengetahui salahnya. Islam juga menegaskan, orang yang tidak menunaikan amanah sebagai "tidak sempurna keimanannya".

Sifat amanah bahkan dianggap sebagai "garis pemisah" keimanan seseorang. Rasulullah bersabda, "Tiada iman bagi orang yang tidak memegang amanah dan tiada agama bagi orang yang tidak dapat dipegang janjinya" (HR Ahmad). Orang yang mengkhianati amanah dalam Islam disebut orang munafik. Dengan kata lain, tidak menunaikan amanah yang diemban termasuk nifak. Dalam sebuah hadits disebutkan, mengkhianati amanah merupakan salah satu ciri orang munafik, selain suka berdusta dan ingkar janji.

Perbincangan tentang amanah menemukan momentumnya setiap saat, khususnya saat ini, ketika kita bersiap melakukan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden langsung. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah, di samping harus bersikap amanah, kita juga harus memilih orang-orang tepat untuk melaksanakan amanah sebagai wakil rakyat dan memimpin umat. Jika kita salah memilih, atau tidak mengacu kepada konsep amanah dalam Islam dalam melakukan pilihan, maka akibatnya adalah negeri ini akan terus carut-marut seperti sekarang. Seperti disinyalir Rasulullah, "tunggulah kehancurannya". Na'udzubillah. Namun setidaknya, adanya Gerakan Jangan Pilih Politisi Busuk membantu kita dalam melakukan seleksi untuk menemukan politisi yang amanah. Maka, kita dukung gerakan tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar